Senin, 22 Juli 2013

Kisah Mereka yang Lulus dari Ujian Keimanan


 Ada kisah menarik yang diabadikan Allah dalam Surat Thaha ayat 65-73. Ya, kisah Nabi Musa ‘alaihis salam melawan tukang sihir Fir’aun. Salah satu hikmah terpentingnya adalah keteguhan iman yang baru sejenak diikrarkan para tukang sihir Fir’aun.
Begitu menakjubkan… Setelah iman merasuk ke hati, ujian berat pun menanti. Tatkala itu Fir’aun berkata, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpin yang mengajarkan sihir kalian. Maka aku akan memotong tangan dan kaki kalian secara menyilang, dan aku akan menyalib kalian pada pangkal pohon kurma sehingga kalian mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.”
Namun, sekalipun menghadapi konsekuensi iman, tangan kaki dipotong terbalik dan disalib pada pangkal pelepah kurma, para tukang sihir Fir’aun tidak bergeming. Mereka tetap memegang keimanan, dan menjawab ancaman Fir’aun dengan begitu indah sehingga Allah abadikan dalam  Al Quran,” Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan dunia ini saja.”
Maknanya, ujian keimanan adalah sebuah kepastian. Salah satu wujud cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah, menguji iman mereka dengan bala’ dan musibah. Ini adalah sunnah yang tak terbantahkan. Buktinya, makhluk yang paling mulia di sisi-Nya sekalipun, yaitu para Nabi, diuji dengan berbagai macam ujian. Ibarat seorang ibu yang tidak suka memberi obat kepada anaknya yang sakit, untuk kesembuhannya, sang ibu tetap memberikan obat sekalipun pahit, sembari menasihati,”Ini demi kesembuhanmu nak.” Begitu pula Allah, Dia memberi ujian dengan tujuan meringankan langkah hamba-hamba pilihan-Nya menuju  surga, sehingga keluar dari dunia tanpa dosa yang telah terhapus karena musibah-musibah yang dideritanya.
Sejarah membuktikan betapa manusia tidak pernah terlepas dari ujian. Para Nabi yang merupakan orang-orang terdekat dan dicintai Allah pun juga mengalaminya. Nabi Ibrahim, Ismail, Yusuf, Zakaria, Yahya ‘alaihi salam, semuanya tak luput dari ujian. Pun demikian dengan Nabi Ayub ‘alaihis salam yang berpenyakit akut, sehingga dijauhi semua kerabat kecuali istri tercintanya. Sampai-sampai Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quranul Adzim-nya menggambarkan ujian yang dialami Nabi Ayyub ‘alaihis salam dengan ungkapan,”Hingga tidak ada satu senti pun dari tubuhnya yang selamat dari penyakit tersebut kecuali hatinya, dan tidak ada sedikit pun harta yang bisa dia gunakan untuk mengobati penyakitnya kecuali seorang istri yang setia menemaninya.”
Nabi Muhammad saw pun demikian. Beliau mendapatkan ujian yang sangat berat dari kaumnya sampai-sampai malaikat penjaga gunung datang dan berkata,”Muhammad, sekarang, terserah kamu… Jika kamu mau, aku balikkan kepada mereka dua gunung Mekkah yaitu gunung Abu Qubais dan Qa’iqa’an yang berhadapan dengannya).” Namun Rasulullah saw malah menjawab,”Bahkan aku berharap agar Allah melahirkan dari sulbi-sulbi mereka orang-orang yang hanya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”
Agama Islam adalah jalan yang dilalui oleh para Nabi terdahulu. Tidak ada orang-orang yang mewarisi ajaran para Nabi kecuali akan dimusuhi, baik oleh setan, jin, dan manusia. Inilah yang dulu pernah disadari oleh Waraqah bin Naufal ketika mendengar penuturan Nabi Muhammad saw perihal malaikat yang datang memberi wahyu. Kata Waraqah pada saat itu,”Itu adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andai saja aku masih muda pada saat itu. Andai saja aku masih hidup saat mereka mengusirmu.”
Nabi Muhammad saw bertanya,”Benarkah mereka akan mengusirku?” “Benar.. Tidak ada seorang pun pernah membawa seperti apa yang kau bawa melainkan pasti akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh.” Jawab Waraqah bin Naufal.
Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid dengan cerdik menyindir orang-orang yang berleha-leha padahal tahu bahwa sebenarnya inilah jalan para Nabi dan Rasul, beliau berkata:
“Wahai orang yang berjiwa banci, di manakah kamu dari jalan para Nabi, jalan di mana Adam kelelahan, Nuh mengeluh, Ibrahim dilempar ke dalam api, Ismail dibentangkan untuk disembelih, Yusuf dijual dengan harga murah dan dipenjara selama beberapa tahun, Zakaria digergaji, Yahya disembelih, Ayub menderita penyakit, Daud menangis melebihi kadar semestinya, Isa berjalan sendirian, dan Muhammad saw mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan, sementara kamu bersantai ria dan bermain-main?”
Maka, berbahagialah wahai saudaraku. Ketika ujian dalam menegakkan dien ini datang bertubi-tubi; kelaparan, kehausan, keterasingan, ketakutan, dan pengucilan. Maka sebenarnya pada saat itu Allah Ta’ala ingin menjadikan kita lebih kuat dalam mengemban amanah. Sehingga kelak ketika muncul amanah yang lebih besar daripada sekarang, maka Allah Ta’ala akan memilih kita sebagai pengampunya. Karena hanya orang-orang yang bermental baja sajalah yang bisa mengemban amanah ini. Amanah melanjutkan estafet dakwah para Nabi dan Rasul.
Perjuangan menegakkan Dien ini sangat berat, tetapi itulah indahnya. Hanya orang-orang pilihan yang Allah anugerahi nikmat ini. Merekalah pribadi-pribadi yang tahan banting dan kenyal dalam menghadapi setiap benturan, pukulan, keguncangan, dan musibah-musibah di pertengahan jalan. Nikmat yang terlalu mulia bila diberikan kepada siapa saja karena tidak semua kaum Muslimin layak mendapatkan dan bisa mengecap manisnya.
Kalau toh semua terasa menyakitkan, menyesakkan dada, melihat seolah dunia begitu sempitnya, dan tidak ada teman-teman yang mengiringi langkah kita kecuali hanya segelintir orang saja, maka janganlah menjauh dari jalan ini, tetapi larilah kepada Allah Ta’ala. Dia sangat merindukan setiap desahan dan aduan serta rintihan suara kita di hadapan-Nya. Dia sangat merindui semua keluh kesah dan lelah letih kita dalam menegakkan dien-Nya.
Kiranya nasihat Malik bin Dinar di bawah ini bisa menjadi penghibur hati kita, beliau berkata,”Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mencintai seorang hamba, Dia mengurangi dunianya dan menahan pekerjaan darinya, dan berkata,”Tetaplah berada di hadapan-Ku.” Lalu dia berkonsentrasi dan berkhidmat kepada Allah ‘Azza wa jalla. Dan jika Allah membenci seorang hamba, Dia menyerahkan secuil dunia kepadanya, dan berkata,”Enyahlah dari hadapan-Ku. Aku tidak ingin melihatmu di hadapan-Ku.” Sehingga hatinya bergantung di bumi ini, dan dengan perdagangannya itu.” (Shifatus Shafwah: III/281)
Karena sejatinya, Allah hanya akan memberikan kemenangan ketika pemangkunya sudah siap mengembannya. Biarlah ujian demi ujian ini kita lalui bersama dengan kesabaran, sekalipun itu adalah sangat sulit dan berat. Tetapi kita harus yakin akan janji-Nya, jika kalian menolong Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan langkahmu.

KIBLAT.NET 
Load disqus comments

0 komentar